Naik Gunung Mistis Bersama Para Pengecut

Wahyu Susilojati
23 min readAug 22, 2021

Hentakan segelas kopi membuat suasana semakin panas. Aku membanting cangkir itu atas kekecewaan yang aku rasakan. Suasana heningnya malam terasa seperti subuh di kandang ayam. Pecahan beling menghiasi kokohnya meja. Warung yang terletak di pinggir kali setu itu, berubah menjadi pasar.

Aku berontak kepada temanku, tak percaya apa yang ia katakan. Temanku hanya diam terbelenggu melihat aksiku. Mereka mencoba menenangkanku meski ubun ubun ini tak langsung membiru.

Rupanya rencana tetaplah rencana yang tanpa aksi. Tomi membatalkan liburan ke Jogja dengan alasan tidak diizinkan oleh kedua orangtuanya. Seperti perjanjian kami, 1 orang tidak betangkat maka tidak berangkat pula kami.

Di warung itu bukan hanya Aku dan Tomi saja, tetapi ada Surya dan Alfi. Keras kepala, nekat namun asik tak luput bagaimana orang — orang mendeskripsikanku. Tomi adalah anak paling penakut diantara kami. Motor dan Alfi bagai piston dengan oli. Kalau liat alfi pasti liat motor, iya motor kesayangannya. Kalau surya anaknya suka banget ngelawak meski kadang — kadang garing wkwkwkw.

“Kenapa tom?”, tanyaku

“Gue gak berani ngelawan orang tua gue why”, pelan Tomi. Why yaitu nama biasa teman — temanku memanggilku.

“Ada saran gak Sur?”, tanyaku pada Surya.

“Kayak gua aja si tom, izin bakar — bakar di rumah temen pas udah di pulau pramuka baru bilang hehehe . . .”, canda Surya.

“Tuh . . ., nekat aja si kayak Surya”, ujarku.

“Enggak gitu why, Sur, kitakan masih SMA, tanggungan masih sama orang tua. Kalau terjadi apa — apa kalian mau gimana?”, tanya Alfi dengan nada santai.

“Yaaaa gak gimana — gimana”, ujar Surya.

“Kalian taukan resiko kalau melanggar restu orang tua?”, tanya Alfi.

“Tau, bisa bahaya”, jawabku.

“Ah lu aja gitu sur, gak mau tanggung jawab”, ujar Tomi.

Ego masih saja menempel pada diriku yang ingin sekali ke Jogja. Tetapi ego itu tak sebanding dengan resiko yang terus membayangi diriku. Aku yang tak tau nasib liburanku ini lalu menanyakannya pada pada Akang, penjaga warung ini.

“Kang, kesini . . .”, panggilku kepada akang yang berjarak kira kira 10 kaki dari kami.

“Napa why?”, tanya Akang.

“Penting!”, jawabku.

“Bentar, akang mau masukin air mineral ini dulu”, ujar Akang yang sibuk sedang merapikan barang dagangannya.

Sebagai orang berkepala 5, wajar jika saya tidak ragu untuk meminta saran darinya. Memang perbedaan usia sangat jauh antara Aku dengan Akang. Akan tetapi keakraban kami membuat hal itu terlupakan.

5 menit kemudian, setelah Akang membereskan barang dagangannya itu Ia menghampiri kami. Bukannya bertanya, justru akang kaget dan sedikit marah. Terlihat dari raut wajahnya yang sedikit agak kemerahan.

“Wah wah wah . . ., kenapa nih Why?, kok bisa pecah gini?”, tanya Akang kepadaku dengan nada agak heran.

“Udah lah kang gak penting, ntar gue ganti!”, ujarku membalas pertanyaan Akang.

“Yaudah, kenapa manggil Akang?”, tanya Akang dengan nada rendah.

“Jadi gini kang, saya, Tomi, Alfi, sama Surya mau minta saran Akang. Gimana baiknya kalau kita gak direstuin orang tua kita, buat liburan ke jogja?”, tanyaku dengan serius.

“Kalau gak direstuin, yaudah jangan. Kalo perlu liburannya yang deket — deket sini aja”, jawab Akang dengan agak terheran — heran. Padat, jelas, dan juga sederhana. Itulah kalimat yang terucap dari mulut seorang bapak penjaga warung.

“Nahhh . . .” Kata yang terlontar secara bersamaan oleh Alfi dan Tomi.

“Oke kang siap, makasih ya kang atas sarannya”, ucapku kepada Akang.

“Iya sama — sama, tapi jangan lupa bayar sama ganti cangkirnya yang pecah”, ujar Akang sembari mengingatkan kepada kami khususnya diriku sambil berjalan mejauhi kami menuju pojokan warung.

“Tenang kang, kita jagain, kalo kabur besoknya bakal ilang hahaha . . .”, ujar Surya dengan tawa renyahnya.

Mendengar saran Akang, kita langsung berfokus pada destinasi wisata yang tidak jauh dari Kota Tangerang Selatan. Bogor mungkin menjadi pilihan utama. Tidak heran, warga Jabodetabek menjadikan kota ini sebagai tempat rehat dari rutinitas metropolitan.

“Yaudah kita kemana nih?”, tanya Alfi.

“Pastinya Bogor, mana lagi”, jawabku sambil tertawa renyah.

“Bogor luas why, mana ya?”, jawab Alfi sambil bertanya.

Hening . . . . . .

Tak ada yang mampu menjawab pertanyaan Alfi. Aku yang bingung langsung menyuruh Tomi mengambil smartphoneku diujung meja.

“Tom, ambilin hape gue dong tuh diujung”, suruhku.

“Nih . . .”, ucap Tomi sambil memberikan smartphone.

Aku yang langsung menggapai smartphoneku dari tangan Tomi, tanpa sadar langsung menekan tombol power. Dengan inisiatifku, Aku berselancar pada google chrome mencari destinasi wisata alam daerah Bogor.

Setiap menemukan tempat dalam pencarianku, aku selalu menanyakan kesanggupan dan pendapat mereka. Tak jarang kami berselisih soal tempat.

1 jam kami berputar dalam pencarian tempat, akhirnya kami menemukan tempat wisata yang dekat dan murah tentunya. Kami memutuskan untuk pergi berlibur walau hanya 1 siang menuju Rumpin Bogor, lebih tepatnya Gunung Munara. Meskipun dinamakan Gunung Munara tetapi Aku merasa bahwa tempat ini lebih mirip bukit karena ketinggiannya tidak lebih dari 1200 mdpl.

Memilih Gunung Munara bukan tanpa alasan. Sebab disana selain mendaki gunung, kita juga akan mampir ke sebuah curug yang dinamakan Curug Rahong. Curug ini terletak di Jalan Muncang, Banyu Asih, Cigudeg, Bogor, Jawa Barat. Untuk sampai ke curug ini, kami tidak melewati jalan yang sama untuk sampai ke Gunung Munara. Artinya kami memilih untuk bermain air lalu mendaki bukit.

Selain kami akan bermain air lalu mendaki bukit, kami juga akan mencicipi sang raja buah yaitu durian. Tidak heran, Rumpin menyandang gelar Surga Durian Bogor. Google tetaplah kata — kata. Tidak bisa kita mencari pengalaman wisata hanya dari google, oleh karena itu kami akan membuktikannya besok.

Kesepakatan telah kami buat. Kami sudah menentukan tempat liburan kami dan akan berangkat jam 2 siang setelah sholat Jum’at. Berkumpul di tempat yang sama ketika kira mendiskusikannya yaitu warung akang.

Kami pun pulang dengan harapan besok tidak hujan. Berharap kendaraan kami sehat wal afiat. Dan yang paling Aku harapkan adalah mendapat pengalaman baru yang belum pernah aku rasakan. Ditambah Aku akan tidur lebih cepat dan bangun lebih awal untuk mempersiapkan barang bawaanku.

Setibanya Aku dirumah, Aku mendapat sambutan dari ibuku. Tak lupa Aku mengucap salam dan mencium tangannya. Sebelum ibuku tidur, Aku mengajaknya ke ruang tamu untuk meminta restu. Aku tidak lupa membuatkannya teh hangat dengan harapan Aku diizinkan pergi besok.

“Nggggg . . . .”, Suara motor memasuki garasi rumahku.

“Assalamu’alaikum mah”, Ucap salamku kepada ibuku yang tengah menyapu garasi.

“Wa’alaikumsalam, kamu habis dari mana nak? Kok main enggak izin?”, jawab ibuku sambil memegang sapu.

“Iya maaf ma, tadi aku ngumpul sama temen SMA”, jawabku.

“Yaudah masuk, langsung tidur ya”, ucap ibuku.

“Maaf mah sebelumnya, nanti kita ngobrol yu di ruang tamu, ada yang ingin aku sampaikan ke mamah”, ajakku.

“Hemmm boleh”, jawab ibuku sambil berpikir seperti ada yang aneh dengan ku.

Setelah aku memakirkan sepeda motor kesayanganku ini, aku langsung mengganti pakaianku dengan baju tidur. Tidak lupa membuatkan 2 cangkir teh untuk ibuku dan aku tentunya. Setelah teh hangat ini siap saji, barulah aku mengajak ibuku ke ruang tamu yang masih merapikan tumpukan sepatu di garasi.

“Mah ayu mah” Ajakku dari ruang tamu.

“Iya ada apa nak” Ujar ibuku.

“Jadi gini mah” Kalimat singkat terlontar dari mulutku dengan hati berasa seperti bedug, dig — dag — dig — dug gitu.

“Astaga aku lupa” Aku panik karena meninggalkan dua cangkir teh di dapur.

“Sebentar ya mah, ada kejutan” Ucapku meredam suasana yang bergejolak di dadaku.

“Bisa aja kamu” Ucap ibuku berbarengan aku mengambil dua cangkir teh di dapur.

Untungnya aku ingat belum memberikannya secangkir teh hangat. 17 tahun aku hidup bersama ibuku. Aku tau betul gimana caranya menggoda ibuku, salah satunya dengan membuatkannya minuman.

“Tadaaa . . .”, ucapku sambil menaruh dua cangkir teh di atas meja.

“Wihh, makasih . . .”, ucap ibuku sambil tersenyum lebar.

Aku turut senang mendengar ucapan terima kasih dari mulutnya. Tapi tetap saja, perasaan takutku tidak direstui masih terus membayang di benakku. Aku langsung membuka pembicaraan walau agak gugup.

“Mah”, panggilku dengan tujuan agar ia mengalihkan pandangannya dari secangkir teh ke diriku.

“Iya kenapa nak” Jawab ibuku.

“Jadi gini mah, tadikan aku ngumpul sama temen — temen kelasanku. Aku dan temen — temenku udah janjian buat besok setelah sholat jum’at pergi ke Rumpin Bogor. Mamah ngizinin gak?”, tanyaku disertai harapan diizinkan untuk pergi.

“Boleh asal kamu jangan lupa makan ya”, jawaban ibuku mematahkan ketakutanku yang terus membayang.

“Beneran mah? Yeee…, makasih mah. Yaudah aku langsung tidur ya mah”, ucapku sembari tertawa senang.

Ibuku tersenyum melihat kegembiraan yang terpancar dari wajah dan tingkahku. Ternyata kegembiraan tidak hanya sampai disitu saja. Teman — temanku baru saja mengirim pesan line kepadaku bahwa mereka bisa ikut besok. Aku yang begitu senang sampai mengungkapkan kegembiraanku dengan cara memukul kasur dengan guling. Sampai puas dengan kegembiraan, aku langsung memejamkan mata untuk tidur sambil berharap besok diberikan kelancaran.

Cahaya mentari menyambar kasurku melewati celah antara jendela dan gorden menembus rapatnya embun di sekitar rumahku. Aku yang seketika bangun langsung duduk dipojokkan kasur sembari mengumpulkan nyawa. Sekitar lima menitan aku berdiam diri sembari memikirkan hari ini aku jadi liburan untuk mengeksplor alam di Kota Hujan.

Setelah aku benar — benar sadar dari tidurku, aku langsung menggapai smartphoneku untuk memeriksa pesan masuk. Terkejut aku melihat jam menunjuk angka 11 di wallpaper smartphoneku. Tanpa melakukan tujuan awalku, aku langsung mandi dan menyiapkan barang yang akan aku bawa nanti. Aku tidak butuh waktu lama untuk menyiapkan barang bawaanku. Karena aku hanya membawa satu setel pakaian ganti saja.

Adzan berkumandang jelas sampai ke telingaku. Sebagai kaum lelaki, aku pergi ke masjid dengan air wudhu yang masih membasahi anggota tubuhku. Aroma bahagiaku terpancarkan ketika merasakan terik yang begitu menusuk. Karena aku paham betul tanpa harus melihat langit bahwa cuaca hari ini tidak akan turun hujan. Padahal kalau kaum hawa pasti akan benci merasakan teriknya sinar matahari.

Setelah aku kembali dari masjid, tak lupa untuk menanyakan kesiapan teman — temanku via line. Meskipun aku tak mengharapan jawaban cepat, aku tetap terus mengontrol smartphoneku ini sembari menyantap makan siangku yang dilengkapi ayam goreng dan sayur sop. Meskipun terlihat sederhana, aku sangat menikmati makan siangku.

Kriingg . . . . Smartphoneku berdering menandakan pesan masuk. Baru saja makan siangku habis langsung disambar pesan masuk. Lalu aku membaca pesan line yang barusan masuk. Betapa senangnya aku bahwa teman — temanku sudah siap berangkat dan sekarang tengah berada di rumanya masing — masing.

Aku yang sudah siap dengan barang bawaanku tinggal menunggu jam dua siang dikurangi waktu perjalananku menuju warung Akang. Aku memperkirakan jam setengah dua siang aku harus berangkat dari rumah agar sampai warung akang tepat waktu.

Sampai akhirnya jam menunjuk angka setengah dua siang tepat aku berangkat sembari mengirimkan pesan line kepada teman — temanku bahwa aku akan berangkat. Aku berangkat dengan sepeda motor kesayangnku dilengkapi dengan helm ojek online dan stnk tentunya. Tak lupa juga aku membawa sim baruku yang baru berumur dua mingguan.

Sampailah aku di warung akang sambil melihat jam dinding di tengah — tengah warung. Ternyata perkiraanku meleset. Aku hanya mwmbutuhkan waktu 20 menit saja untuk sampai ke warung ini. Wajar saja, jalan raya begitu lengang di siang hari. Aku langsung memeriksa pesan masuk yang terus berdering selama aku di perjalanan. Ternyata Tomi dan Surya sudah berangkat dan akan sampai sebentar lagi. Sedangkan Alfi akan menunggu di rumahnya karena kami akan memarkirkan motor kami dan hanya membawa dua motor saja untuk menuju Bogor.

Sekitar lima menitan Tomi sampai dengan motor besarnya. Barulah Surya yang tampil apa adanya dengan motor kesayangan miliknya. Tak menunggu waktu lama, kami langsung menuju rumah Alfi yang tidak jauh dari warung Akang. Tak lupa kami pamit kepada Akang.

“Alfi . . . Assalamu’alaikum”, begitulah kami biasa menyamper ke rumah sahabat kami. Sebelum salam panggil dulu namanya.

“Wa’alaikumsalam”, sahut Alfi dari dalam rumah sembari melangkahkan kakinya menuju teras rumah.

“Pake motor siapa fi?”, Surya langsung menyambar jawaban salam Alfi.

“Yang satu pake motor aku, satu lagi bebas. Aku biar gonceng Tomi yang badannya agak besaran”, jawab Alfi di balik pintu rumahnya.

“Yaudah gue gonceng Surya pake motor gue”, sahutku.

“Yaudah langsung siap-siap aja, keluarin motor aku tom. Motor yang gak dipake parkir aja di situ”, suruh Alfi sambil menunjuk garasi rumahnya.

Agar kita tak terus termakan oleh waktu, kami langsung berangkat. Kami sangat menikmati perjalanan. Terbukti dengan Surya yang mengabadikan momen ini dengan memvideokannya. Rencananya Surya akan membuatkan video vlogger untuk channel youtubenya. Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke Curug Rahong apalagi Aku dan Alfi sudah sangat hafal jalan menuju Rumpin.

Jalan pedesaan menuju Curug Rahong begitu sepi dan berbukit serta dihiasi hamparan sawah dan pohon durian yang menyebar di perbukitan. Tak lupa kami membeli sang raja buah dengan harga yang relatif murah karena kita membelinya langsung dari kebunnya. Kami membeli durian yang kami sendiri tidak tau jenisnya seharga Rp. 5.000. Kami hanya membelinya satu karena bukan untuk makan malam tetapi untuk disantap di pinggiran curug.

Sampailah kami di gerbang Curug Rahong. Setelah kami memakirkan motor, hal yang pertama kita lakukan adalah beribadah. Bingung mencari tempat wudhu, pada akhirnya kami turun kebawah untuk wudhu di aliran curug. Untuk bisa turun mengambil air wudhu jalannya cukup terjal dan juga licin. Kami harus berhati — hati dalam melangkah.

Setelah wudhu, kami naik ke atas untuk shalat ashar tetapi berbeda denganku. Aku yang malas untuk berjalan jauh melewati jalan yang curam, tak sengaja melihat jalan lain yang lebih dekat yaitu dengan melompati bebatuan besar setinggi kira — kira 5 meteran. Sebenarnya ini bukan jalan tapi aku yakin bisa melewati jalan itu.

“Why mau kemana?”, tanya Surya padaku.

“Mau lewat jalan pintas bro”, jawabku sambil waspada terpeleset.

“Nekat lu why, sini aja kali”, ucap Surya sembari memberikan peringatan. Alfi hanya diam melihat tingkahku. Aku pun menghiraukan peringatan temanku. Setelah naik dan melompat dari batu ke batu sampailah di ujung batu besar. Batu itu berukuran kurang lebih 5 meteran dengan bebatuan dibawahnya. Untuk sampai ke atas, aku hanya tinggal melompat dari batu besar itu ke batu terakhir baru sampai ke atas. Jarak batu itu kira kira 2 meteran dengan kemiringan hampir 90 derajat. Dengan penuh keyakinan aku melompat tanpa ancang — ancang.

Praaakkk . . . Diluar dugaanku aku terpeleset. Aku panik, dig — dag — dig — dug perasaanku. Sontak aku berpegangan pada permukaan batu yang tidak rata. Aku hanya bertumpu pada tangan kanan. Tangan kiriku mencoba meraba mencari sesuatu yang bisa dipegang tetapi Aku tidak menemukannya. Kakiku hanya bisa bergelantungan lemas. Jika aku gerakkan mencari pijakan maka aku akan terpeleset karena permukaan yang licin. Sementara aku hanya menemplok pada permukaan batu bagai cicak di dinding. Panik bercampur takut berdengung dalam diriku.

“Tomiiii . . . . Alfiiii . . . . Suryaaaa . . . ., toooloong . . . . .”, teriakku dalam ketakutan.

“Eh woi, Wahyu tuh mau jatuh!”, teriak Surya tanpa aku bisa melihat raut wajahnya.

“Why ngapa lu lewat situ?”, tanya Tomi tanpa jawaban dariku yang terus berfikir bagaimana caranya bisa naik. Karena sudah dipastikan jika aku terjatuh atau nekat melompat ke bawah mungkin patah tulang adalah hal yang mungkin terjadi pada diriku karena bebatuan dengan aliran air dibawahnya.

“Woi geceeee . . . .”, teriakku yang kedua kalinya.

Tanpa basa — basi Tomi turun menuju tebing tempat aku bertelungkup dalam kemiringan kurang lebih 70 derajat. Aku seperti berdiri tapi juga badanku menyangkut menempel. Tomi bergegas meraih tangan kiriku.

“Gapai why, tangan kiriluuu . . . . !!! “, panik Tomi berusaha menggapai tanganku.

Happp . . . Aku berhasil meraih tangannya. Tapi justru aku makin takut jika aku malah membawanya ia jatuh karena ia juga tidak berpegangan.

“Tom gue takut, lu kuat gak?”, teriakku tanpa bisa memandangnya.

“Udah gece”, teriak tomi.

Aku serahkan kepercayaan ini kepada Tomi. Aku berusaha naik sambil merayap agar Tomi tidak ikut tertarik. Tanpa pijakan aku berharap Tomi kuat menarikku. Dan akhirnya aku selamat. Rasa syukur atas keselamatanku terus kurasakan. Tadinya panik sekarang lega. Untungnya ada Tomi yang langsung menolongku. Terlambat sedikit mungkin aku sudah terjatuh. Aku hanya bisa terdiam sejenak meratapi keadaanku saat ini. Rasa takut yang disambar angin kencang masih terasa hingga saat aku mulai berbicara.

“Gilaa . . . . Malah di videon lagi”, hanya itu yang bisa aku katakan. Tanpa sadarku Surya memvideokan diriku dalam kondisi terancam bahaya. Ingin ku pukul wajahnya tapi aku tidak tega karena pada saat itu juga lelucon dari mulutnya membuat aku tertawa.

“Nanti upload ke youtube. Detik — detik penyelamatan pria hidung belang”, canda Surya dengan tawa renyahnya.

“Yeee . . . kocak”, ujarku sambil menahan tawa.

“Yaudah abis sholat langsung curug ya”, saut Tomi.

Setelah kami sholat, langsung bergegas menyusuri jalan setapak yang licin sambil membawa buah durian yang Alfi tenteng. Jarak yang dekat dengan parkiran membuat kaki ini ingin sekali menyusuri tempat lain. Eitsss iya tempat lain. Aku merasa jika kami berenang disini, usaha kami takkan bisa terbayarkan. Air yang keruh ditambah kurang seriusnya pengelola yang membiarakan sampah mengotori curug. Berfoto dan menikmati durian adalah dua hal yang kita lakukan di curug itu. Padahal aku ingin sekali berenang, tapi aku takut malah terkena penyakit gatal — gatal.

“Sekarang masih jam 4, mau ngapain lagi nih?”, tanyaku pada teman — temanku.

“Munara kan”, sahut Surya.

“Tapi yakin bakal turun sebelum gelap?”, tanya Alfi.

“Kagak bakal fi, tenang aja kan ada Wahyu hehehe . . .”, ujar Surya dengan maksud meledekku. Aku yang merasa dihina hanya bisa tertawa kecil sambil memendam rasa kesal.

“Yaudah sesuai rencana aja, Gunung Munara”, sahut Tomi mengalihkan tawaku.

Gunung Munara tidak jauh dari curug ini. Hanya saja kita harus keluar ke jalan raya melewati kampung sawah. Kami tidak tahu apakah bisa melewati Banyu Asih, tapi aku yakin ada jalan dari sini menuju puncak. Tapi karena kami hanya tahu satu jalur, jadinya kami memutuskan meninggalkan curug itu dengan membayar tarif Rp. 10.000 lalu memutar sejauh 2 Km.

Sesampainya disana kami memarkirkan kendaraan kami dengan tarif sama dengan ketika kami meninggalkan Curug Rahong. Mendengar jawaban itu aku langsung resgistrasi di loket yang sudah disediakan. Aku membayar Rp. 60.000 untuk 4 orang dan memberi unjuk KTPku untuk di data. Aku diberikan sebuah kertas berisikan peraturan yang harus dituruti. Aku membaca secara rinci sembari menunggu temanku yang masih sibuk dengan barang bawaannya. Aku sungguh terkejut melihat beberapa peraturan yang cukup unik, yaitu para pendaki diharap membawa kembali air seni. Aku menahan tawa yang terus menggelitik di pinggangku. Meskipun aku salah fokus, tapi aku tetap serius dalam membaca. Karena jika salah dalam memahami peraturan yang ada justru bisa berakibat fatal pada pendakian kami.

Tak lama kemudian Tomi, Alfi, dan Surya datang menyusul. Kuserahkan petugas loket untuk menjelaskan ulang kepada teman — temanku. Tak lama berselang mereka cekikikan medengar aturan yang membuatku tertawa tadi. Sebagai anak kota, aturan itu cukup unik dan tidak pernah kita ketahui sebelumnya. Waktu yang sudah cukup sore membuat kami agak takut terjebak dalam gelap. Karena itulah tanpa mendung tanpa hujan kami memulai pendakian bagai kilat dengan aku didepan lalu Alfi kemudian Tomi disusul Surya di posisi paling belakang.

Kami mengawali pendakian dengan melewati jembatan yang cukup lumayan panjang, sekitar 15 meter. Jembatan bambu ini hanya terdiri dari tiga bilah dan satunya sebagai pegangan. Aku awalnya agak ragu, takut jembatan ini ambruk di tumpangi oleh 4 orang. Ditambah sungai yang deras memberi kesan berjalan diatas tsunami. Tapi kami mencoba dengan berjalan satu demi satu.

Hobiku sebagai pecinta alam, suasana pendakian ini tidak ada yang berbeda alias sama seperti mendaki gunung lain pada umumnya. Pohon rindang, semak belukar, sampai dengan jalanan becek menemani pendakian kami. Sampai kami berhenti untuk beristirahat sejenak.

“Hah . . . hah . . . hah . . ., udah istirahat dulu”, ucap Alfi sambil menahan rasa capainya.

“Yaudah kita berhenti dulu”, ucapku sambil duduk di atas batu kecil.

“Liat tuh matahari, bentar lagi tenggelam gas lah. Kita istirahat 10 detik aja”, ucap surya yang sudah tidak sabar melihat pemandangan indah dari atas sana.

“Nih air fi”, ucapku sambil memberikan air dalam botol.

“Makasih why. Rasa inisiatif kamu gak aku ragukan lagi”, ucap Alfi sambil mengambil botol air dari genggamanku.

5 menit kami kira — kira memanjakan kaki kami, kami langsung berdiri mengikuti Alfi dan langsung melanjutkan perjalanan tanpa arahan dari siapa pun. Tak lama kami berjalan sampailah kami pada hutan bambu yang rindang. Selama aku mendaki 4 puncak tak pernah menemukan hutan bambu seseram ini. Bayangkan saya jalan setapak selebar satu meter ditumbuhi kumpulan bambu rindang di sepanjang kiri dan kanannya. Ditambah suasana petang menambah aroma seram yang begitu menakutkan. Belum lagi pucuk pohon bambu menjulur hingga menutupi pandangan kami membuat kita kesulitan dalam mendaki.

“Why, jalanannya kayak begini maksa naik?”, bisik Alfi ketakutan.

“Yang ngajak kesini kan bukan gue, tapi bareng — bareng”, ucapku tanpa membisik Alfi.

“Kenapa? Lanjut aja kali”, ucap Surya membalas ucapanku.

“Selagi ada Wahyu yang pengalaman soal hidup di hutan kenapa harus mundur”, ucap Tomi dengan nada meyakinkan.

Tak seperti biasanya Tomi berkata demikian. Ia tak mungkin bisa seberani ini. Seperti ada yang merasuki. Tapi aku tidak curiga karena mendengar ucapannya yang membuat aku semakin semangat untuk mencapai puncak. Meskipun banyak pucuk bambu yang menghalangi langkah kami, aku sebagai leader pendakian tidak menebas pucuk bambu melainkan menghindarinya atau mengalihkannya menggunakan tangan yang berselimut sarung tangan.

Kira — kira sepuluh menit ribuan bambu menemani pendakian kami, akhirnya kami memastikan keluar dari hutan bambu tersebut ditandai dengan jembatan yang membentangi parit kecil. Keluarnya kami dari hutan tersebut bukannya menambah keyakinan untuk terus mendaki, malah justru sebaliknya. Melihat tangga dari tanah yang begitu menjulang tinggi ke atas membuat kami sontak ingin pulang.

“Aduhh, abis berenang lewatin hutan bambu malah disambut tangga raksasa”, ujar Alfi sambil mengelap cucuran keringatnya dengan kaos hitamnya.

“Semangat!”, ucapku memberikan semangat kepada teman — temanku.

Perkiraanku perjalanan akan berakhir ditandai dengan nafas Alfi yang tersengal — sengal. Jalan yang begitu terjal membuat kami harus beristirahat dalam setiap sepuluh langkah. Hingga kami tak sengaja bertemu pendaki lain yang sedang beristirahat dengan tas cariernya. Kami mengobrol sejenak sambil mengistirahatkan tubuh kami.

“Assalamu’alaikum kak”, ucap salamku.

“Wa’alaikumsalam kak”, balas salamnya.

“Barang bawaannya banyak banget kak”, ucapku sambil mengira bahwa ia akan bermalam disini.

“Iya kak, saya mau bermalam disini. Soalnya mau liat sunrise besok pagi”, jawab pendaki solo bergender laki — laki ini.

“Kira — kira puncak masih jauh gak kak?”, tanya Alfi yang sudah lelah dengan pendakian ini.

“Setengah dari titik awal pendakian kak”, jawab pendaki itu.

“Yaudah kak berhubung kita mau turun sebelum gelap, kita duluan ya kak”, ucapku sambil berdiri dari peristirahatan disertai alihan pandanganku ke jalan setapak.

“Assalamu’alaikum kak, kami duluan”, ucap Alfi.

“Wa’alaikumsalam kak, hati — hati ya”, jawab pendaki itu.

Mendengar puncak masih setengah perjalanan, sontak aku menekankan teman — temanku berjalan lebih cepat menghindari datangnya gelap yang akan menyulitkan perjalanan kami. Kira — kira lima belas menit berlalu sampailah kami di sebuah gua kecil dan bertemu dengan kakek tua bertongkat yang kira — kira berumur enam puluh tahun keatas. Kakek itu meminta uang kebersihan alias pungli sebesar Rp. 20.000. Kami tak mampu berbuat banyak karena kami merasa tamu disini. Sebenarnya kawasan Gunung Munara sudah ada yang mengelola dari Kementrian Lingkungan Hidup, sehingga kita cukup membayar di loket pendakian saja. Tak lama kemudian kami yang sedang asik mengabadikan momen di mulut goa datanglah pendaki yang tadi beristirahat bersama kami. Pendaki itu terhenti oleh kakek tua itu. Ia meminta uang kebersihan kepadanya. Sontak pendaki itu kesal. Mungkin karena ia tau bahwa itu adalah pungutan liar.

“Nih pak”, ucap pendaki itu sambil memberikan uang Rp. 2.000.

“Haah . . . Kurang ini, goceng kang”, ucap kakek ini sambil menodongnya dengan uang.

“Yaampun pak, udah dikasih malah minta nambah”, ucap pendaki itu dengan nada kesal.

“Kamu ini tamu. Saya yang punya wilayah. Kalo kamu gak punya uang SILAHKAN TURUN . . . !!!”, nada keras terlontar dari mulut kakek tua ini.

“Saya sering mendaki gunung pak, bapak bisa saya laporkan!”, ucap pendaki itu tanpa kendor sedikit pun.

Suasana sejuk gunung berubah menjadi panas. Adu argumen terlontar dari mulut pendaki dan kakek tua itu. Aku yang sudah tak enak hati, ingin melanjutkan perjalanan tapi justru ketiga temanku memilih diam duduk manis memperhatikan adu argumen bagai debat presiden.

“Tadi anak itu juga membayar goceng”, ucap kakek tua itu.

“Dia membayar karena dia takut pak. Kalo caranya begini bisa saya laporkan di loket”, balas pendaki itu yang tak mau kalah.

“Kamu mau selamat gak?, cukup goceng aja”, ucap kakek tua itu, menakut — nakuti seperti memegang keselamatan pendaki itu.

“Ini nih. Di loket akan saya laporkan bapak!”, ucap pendaki itu memberikan Rp. 5.000 sembari meninggalkan bapak itu.

Adu argumen antara pendaki dengan kakek tua itu berakhir dengan lemparan kayu kakek tua yang hampir mengenai pendaki yang tidak sadar itu. Aku yang sudah kesal dengan tingkah ketiga temanku yang tidak punya rasa tidak enakan langsung memaksa melanjutkan pendakian.

“Ayok, mereka sudah selesai. Sungguh malu aku memperhatikan orang berdebat. Pisahkan atau pergi”, ucapku sambil menarik tangan Alfi agar terbangun dari duduknya.

“Yaudah gas terus”, jawab Alfi tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Kami melanjutkan pendakian menuju puncak yang tidak jauh dari aku berdiri. Setelah kami meninggalkan Goa itu, kami langsung disambut dengan Tanjakan Setan. Mendengarnya saja sudah bisa membuat bulu kuduk merinding apalagi melintasinya. Tidak ada jalan memutar agar tidak melewati tanjakan ini. Bagaimana kami tidak takut. Kami diharuskan melewati anak tangga yang besar dengan beratap akar pohon beringin yang menutupi tanjakan bagai atap goa.

“Kita pulang yuk”, ajak Alfi yang bersembunyi di belakang punggungku.

“Percayalah fi, pengang pundak gue”, ucapku meyakinkan Alfi.

Kucoba menghapus keraguan Alfi tentu dengan meyakinkannya. Kami menyalakan senter untuk menghapus gelap yang menyelimuti tanjakan ini. Walau dengan penuh kehati — hatian, kami tak membutuhkan waktu yang lama. Setelah Tanjakan Setan terlewati, aku makin tergila — gila dengan puncak. Semangatku semakin membara hingga tak ada pikirin lain di benakku selain puncak.

“Liat — liat, puncak gak jauh lagi. Tunggu apa lagi”, ucapku yang tidak sabar menuju puncak.

“Ayo — ayo”, ucap Alfi.

Tak lama kemudian, tinggal tersisa batu besar. Puncak Gunung Munara adalah di atas batu besar itu. Bentuk batu yang sedikit bulat menyulitkan pendakian hingga puncak. Untungnya tersedia tali yang terikat kuat dengan puncak batu. Tak membutuhkan waktu lama memanjat batu besar itu. Hingga sampailah kami dipuncak dengan pemandangan senjanya.

“Alhamdulillah . . . Puncaaakkk . . .”, teriakku.

“Liat pemandangannya why, indah banget”, ucap Alfi.

“Foto fi, jadiin kenangan”, ucapku sambil mencoba mencari posisi yang pas.

“Astagfirullaahh . . . Tomiiii . . . Suryaaa . . .”, teriak Alfi.

Alfi yang ingin mengambil smartphone miliknya di tas Tomi baru tersadar. Bukan hanya Alfi saja yang terkejut bahkan aku sangat terkejut tidak terlihatnya Tomi dan Surya. Sunggu mimpi apa aku semalam. Berdoa siang malam demi mendapat keselamatan justru kesialan. Tak pernah terkira dalam benakku. Tadi kami berempat kini hanya sepasang. Bukan tentang pikiran tetapi perasaan, perasaan yang bersalah. Semua ketakutan terus menghantui benakku.Gelap mulai meraba suasana. Gelap menyelimuti takut kami yang perlahan menghilang. Menenangkan diri adalah sikap terbaik sebelum mengambil keputusan terbaik. Hingga kami dapat berpikir dengan baik.

“Fi, kita turun sekarang”, ajakku.

“Tapi kemana?”, jawab Alfi dengan kebingungan.

“Inget gak mereka gak ngomong sama sekali sampe terakhir di tempat kakek tua bertongkat itu”, ucapku sambil mencoba mengingat.

“Oiya, terakhir di kakek tua itu. Aku inget banget waktu kita udah naik ke Tanjakan Setan, mereka masih menunggu kita naik sampai akhirnya kita gak sadar mereka kemana”, sambung Alfi.

“Coba deh pikirin kita harus kemana?”, tanyaku dengan serius.

“Kita balik ke Tanjakan Setan, pasti mereka gak jauh dari sana”, jawab Alfi sambil mengira — ngira.

“Kalau ada kemungkinan terburuk gimana?”, tanyaku lagi pada Alfi.

“Kita bisa turun lalu melapor pada pengurus gunung ini di loket tadi”, ucap Alfi memberi saran.

“Yakin lu? Gelap gini apa mending tunggu besok pagi?”, ucapku meragukan keputusan ini.

“Kamu mau mereka gak ketemu”, ucap Alfi.

“Emang yakin kalo kita turun sekarang bakal ketemu. Dan satu hal, turun gunung malam hari itu bahaya banget. Kita emang harus peduli sama temen kita, tapi bukan berarti menghiraukan keselamatan kita”, ucapku sambil memegang pundak Alfi.

“Inget ya why, naik berempat maka turunpun berempat juga”, ucap Alfi dengan sangat serius.

“Iya gue tau, gue udah sering naik gunung. Tapi keadaan kayak begini lu coba maksa tanpa peralatan pendakian sedikit pun. Itu namanya nekat fi”, ujarku mencoba mematahkan kegilaan Alfi.

“Aku gak masalah dengan keselamatanku, karena berempat itu tujuanku”, ucap Alfi membangun pendiriannya.

“HADUUHH . . . Lu gila kali ya fi, kalo ada macan gimana? Babi hutan? Sumpah gila banget fi”, aku membalas perkataan Alfi yang sangat keras kepala.

“Inget why, lu boleh bilang gue pengecut, tapi enggak kayak gini caranya. Bahkan sampai gue merubah cara berbicara gue, gue tetap ingin turun”, ucap Alfi menatap tajam merubah gaya bahasanya.

“Gue gak ikut fi, kalo mau turun silahkan”, ucapku menakut — nakuti Alfi berharap ia berhenti mengikuti egonya.

“Yaudah kalo gue berhasil menemukan mereka malam ini juga, jangan harap lu Wahyu Susilo bisa main bareng kita lagi!”, ucap Alfi sembari berjalan turun menuruni puncak.

“Tunggu fi, gue gak bisa ninggalin lu sendirian. Gue ikut”, ucapku mengejar langkah Alfi yang terus melaju.

Aku yang mendengar ancaman dari Alfi justru ketar — ketir. Merubah pandanganku, mengikuti pikiran Alfi. Keyakinan Alfi mengajakku pada ancaman paling berbahaya yaitu menyusuri hutan di malam hari. Sontak yang mulanya aku takut terpaksa menggunakan ilmu dan pengalamanku yang tidak begitu banyak. Bahkan cara menghadapi hewan liar saja aku tidak bisa.

Aku tetap memimpin dalam pencarian ini sama seperti pendakian tadi. Aku berjalan sembari mengarahkan lampu senter pada sekeliling semak belukar. Setengah jam kami berjalan sambil memperhatikan sekitar tidak terlihat adanya jejak Tomi dan Surya malahan hanya rerumputan liar dan pepohonan saja. Kami menyusuri jalan hingga sampai di tanjakan setan. Tetapi kali ini kami tidak menanjak melainkan menuruninya. Kami menuruninya dengan sangat hati — hati karena tak ada cahaya sedikitpun yang dapat menembus kumpulan akar beringin selain lampu senter kami. Sampai kami di mulut goa disitulah titik kami beristirahat. Kami mencoba menganalisa jejak jejak keberadaan Tomi dan Surya.

“Why, ada sesuatu yang aneh gak?” Tanya Alfi.

“Enggak ada, tapi gue inget kalo mereka berdua duduk di batu itu”, ujarku sambil menunjuk ke arah batu besar.

Aku yang masih ingat Tomi dan Surya hanya diam ketika aku mengajak melanjutkan pendakian. Dan tak sengaja aku menemukan topi biru yang Tomi pakai saat awal — awal pendakian.

“Fi liat deh, inikan topi Tomi”, ucapku sambil mengambil topi yang tergeletak di mulut goa.

“Aduh . . . Kita harus cari ke mana ini?”, tanya Alfi dengan paniknya yang terlihat dari raut mukanya.

“Kalo malem gini kan bakal susah nyari mereka berdua, yaudah kita sahutin aja namanya sambil turun menuju loket. Waktu di loket baru kita lapor”, ucapku memberikan saran.

“Yaudah yo, kita turun”, ajak Alfi.

Suryaaa . . . . Tomiii . . . ., kami terus memanggil nama itu. Tak lama kami berjalan sambil membawa topi Tomi, kami juga menemukan satu sepatu Surya menyangkut pada semak belukar. Menurut ku ini adalah pertanda bahwa mereka berdua dalam keadaan bahaya. Ada kemungkinan hewan liar menyerang mereka, sehingga Tomi lari sampai menjatuhkan topinya dan Surya turut melempar sepatu miliknya.

Kami terus menyusuri jalan setapak ditemani gelapnya malam. Hingga aku tersadar bahwa kita tak pernah melewati hutan bambu. Satu jam kami berjalan bahkan tidak melewati hutan bambu itu. Hingga aku menyimpulkan bahwa kami tersesat.

Aku tak begitu panik soal ini. Semua kejutan — kejutan telah menghilangkan rasa panik dari dalam diriku. Bahkan aku begitu santainya menyikapi hal ini. Sama halnya dengan Alfi. Tidak ada kepanikan dan suara cempreng yang keluar dari mulut Alfi. Kami awalnya juga bingung apakah tetap lanjut atau kembali ke atas. Tapi aku putuskan untuk terus lanjut. Aku punya beberapa alasan mengapa tetap melanjutkan perjalanan. Yang pertama yaitu gunung munara tidak terlalu tinggi kalaupun tersesat akan mudah untuk keluar, Kemudian aku memilih melanjutkan karena jalan yang kita ikuti mengarah ke arah perkampungan dilihat dari lampu kelap — kelipnya, Dan aku menemukan beberapa gubuk di bawah menandakan tak jauh dari sini akan ada kehidupan.

Kami terus berjalan hingga kaki tak mampu lagi berdiri. Sampailah kami di sebuah gubuk tua. Aku dan Alfi beristirahat sejenak merenggangkan kaki sembari membasuh tenggorokan yang kering. Tak seperti pendakian, kini aku yang mengajak beristirahat.

“Fi kita istirahat dulu disitu. Kaki gue udah pegel banget”, ajakku terpincang — pincang menahan beban tubuh.

“Ayo”, ucap Alfi mengiyakan ajakanku.

“Tomi sama Surya jangan dipikirin dulu. Kita fokus agar bisa keluar dulu dari hutan ini”, ucapku mencegah kecemasan Alfi yang terus menggerogoti pikirannya.

Kami duduk sembari meluruskan kaki kami. Terjadi percakapan kecil membahas soal Tomi dan Surya. Tapi aku terus meyakinkan Alfi bahwa kita pasti akan menemukannya dengan keadaan sehat.

Sreek . . Sreek . . Sreek . . Suara dari semak — semak yang berada tidak jauh dari kami. Curigaku mengarah pada hewan liar. Mungkin babi hutan, kambing, atau monyet ekor panjang. Dengan penuh kehati — hatian aku mengambil ranting panjang mengantisipasi sesuatu yang di dalam semak itu berlari ke arah kami. Ternyata benar dugaanku, babi hutan keluar dari dalam semak berlari menuju arah puncak.

Lelah ini perlahan pudar sampai tak kurasakan lagi. Kami melanjutkan perjalanan kami menyusuri jalan setapak. Sial, senter kami mati. Penerangan kami tinggal tersisa smartphoneku yang aku bawa di tasku. Itu pun tinggal 10 persen. Coba saja Alfi tidak menitipkan smartphone-nya pada Tomi, aku pasti akan menyalakan lampu flash. Kami terus berjalan berharap ada orang kampung yang bisa menunjukan arah pulang. Aku menekan tombol power ponsel pintarku untuk sekedar melihat jam. Sampai pukul setengah sembilan kami masih berada di tengah — tengah hutan.

Akhirnya permohonan kami terkabulkan, kami menemukan seseorang pemuda yang sedang mengangkut durian kegerobak miliknya. Tanpa basa — basi kami menanyakan jalan pulang padanya. Pemuda itu memberikan petunjuk ke jalan kampung sambil menunjuk ke arah kebun durian.

Kami mengikuti arahan pemuda tadi dan akhirnya kami sampai di sebuah jalan tanah yang cukup lebar tetapi tidak ada rumah sedikitpun sesuai arahan, kami diharuskan berbelok ke kiri dan mengikuti jalan itu sampai bertemu sungai. Suara derasnya sungai terdengar, itu menandakan perkampungan sudah tidak jauh dari sini. Akhirnya kami sampai di bibir sungai disambut jembatan bambu yang tadi kami lewati. Aku masih sangat ingat jalan ini. Tanpa ragu aku ikuti jalan ini hingga sampai di loket registrasi yang sudah tutup.

Tak ada yang berjaga tetapi ada dua pemuda yang tengah duduk di warung dekat loket. Kami mencoba menghampirinya dan terkejut ketika mereka menoleh ke arahku. Bukan karena hantu atau hal aneh tetapi mereka berdua itu adalah Tomi dan Surya. Aku berlari meninggalkan Alfi sambil menyahut namanya. Aku berlari sekuat tenaga dengan kebahagiaan yang menguasai tubuhku dan langsung memeluk Surya dan kemudian Tomi. Tak tahu lagi gimana caranya berterima kasih kepada Tuhan, sunggu ini kebahagiaan yang sangat aku harapkan.

“Kalian kemana saja? Aku dan Alfi cemas mencari kalian berdua”, tanyaku terheran — heran bercampur senang.

“Alhamdulillah, sepatuku dan topi Tomi kalian bawa, tidak jadi menyeker hahaha . . . “, terbahak senang Surya tanpa membalas pertanyaanku.

“Syukur kita bisa bertemu lagi, mari kita pulang sudah saatnya kita harus berada di rumah masing — masing”, ucap Tomi mengajak pulang.

“Kalian disini rupanya, aku cari kemana — mana. Aku khawatir tau”, kata Alfi sembari berjalan mendekat.

“Lupikir lu aja. Kami juga tau”, ucap Surya membalas cuitan Alfi.

“Udah lah gak penting. Kedua orang tua kita menunggu di rumah, tapi warung Akang dulu ya. Aku traktir susu hangat”, ajak Tomi pulang menggoda kami dengan susu hangat.

“Yaudah ayo kita ke parkiran langsung caw pulang!”, ucapku.

Tawa dan canda menemani kami menuju parkiran bahkan sampai pulang menuju warung Akang yang dijamu dengan susu hangat sesuai janji Tomi. Hanya dua hal itulah yang dapat menghapus duka kami. Tidak ada yang perlu disesalkan, semua orang pernah mengalami duka bahkan seorang nabi sekalipun. Mungkin ini akan menjadi cerita pahit kami mendaki gunung. Akan kuceritakan pengalamanku ini pada anak — anakku kelak. Terima kasih kawan, terima kasih Tuhan yang sudah menciptakan pengalaman baru ini pada diriku.

--

--

Wahyu Susilojati
Wahyu Susilojati

Written by Wahyu Susilojati

Just a boy who always trying to see everything as clear as blue skies